Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 Juni 2012

SAKSI AHLI UNGKAP AKIBAT PEKERJAAN TUKANG GIGI DI HADAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI

SAKSI AHLI UNGKAP AKIBAT PEKERJAAN TUKANG GIGI DI HADAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Sabtu, 30 Juni 2012, 11:20

Para saksi ahli menyampaikan pernyataan mereka di hadapan sidang ke 4 Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review tukang gigi terhadap UU Praktik Kedokteran pada 27 juni 2012. Dari kalangan profesi kesehatan gigi dihadirkan drg. Bambang Kusnandir Sp.Pros., drg. Bimo Rintoko Sp.Pros., drg. Andreas Adyatmaka, dan Suroto AMTG S.Pd., sebagai saksi ahli yang diajukan pemerintah. Pengajuan saksi ahli dari profesi kesehatan gigi karena selama ini pekerjaan tukang gigi mencakup kewenangan yang sebenarnya dimiliki dokter gigi dan teknisi gigi. Sedangkan dari pihak tukang gigi mengajukan saksi ahli Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, dan Dr. Muhammad Arief Setiawan, SH.

Sidang kali ini adalah lanjutan pengujian pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap pasal 27 ayat (2) dan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Pada persidangan ke 4 ini, pihak pemerintah diwakili dr. Dedi Kuswenda (Direktur bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan) dan Tuti Ria Ningrum, SH dari Kementerian Hukum dan HAM, serta Netty Pakpahan, SH dan drg. Sudono dari Kementerian Kesehatan, turut pula drg. Azrial Azwar Sp.BM dari KKI dan Dr. drg. Paulus Januar dari PDGI. Pemohon pengujian UU Praktik Kedokteran adalah H. Hamdani Prayogo, tukang gigi, yang diwakili pengacaranya terdiri M Sholeh Amin SH MHum, A Wirawan Adnan SH, A.H. Wakil Kamal SH MH, Iim Abdul Halim SH, Rinni Ariany SH MH, dan Nirsam Makarau SH MH.

SAKSI AHLI PROFESI KESEHATAN GIGI

Drg. Bambang Kusnandir Sp.Pros., seorang dokter gigi spesialis prostodonsia dan mantan ketua IPROSI (Ikatan Prostodonsia Indonesia) menyampaikan bahwa, dokter gigi berpraktik berdasarkan standar kompetensi atau standar kewenangan. Sedangkan seorang dokter gigi spesialis prostodonsia atau gigi palsu, harus juga mempunyai kompetensi sebagai dokter gigi spesialis prostodonsia. Dalam profesionalismenya, seorang dokter gigi harus menguasai ilmu kedokteran gigi dasar yang menyangkut biologi oral, biologi material, dan teknologi kedokteran gigi untuk menunjang keterampilan preklinik, klinik, serta penelitian-penelitian apabila dibutuhkan. Sebagai dasar untuk melakukan pelayanan klinis harus memahami prinsip ilmu kedokteran gigi klinik. Kemudian dalam praktiknya, pada pemeriksaan terhadap pasien, dokter gigi tidak lepas dari pemeriksaan fisik secara umum dan sistem stomatognatik dengan mencatat informasi klinis, laboratoris, radiologis, psikologis, dan sosial guna mengevaluasi kondisi medik pasien tersebut. Kemudian juga harus bisa mendiagnosis penyakit, menetapkan prognosis kelainan gigi dan mulut melalui intepretasi, analisis, dan sintesis hasil pemeriksaan yang bersangkutan. Selanjutnya seorang dokter gigi juga harus dapat mengembangkan rencana perawatan pasiennya. Apabila seorang dokter gigi tidak bisa melakukan perawatan yang diperlukan, sudah barang tentu harus bisa menentukan rujukan sesuai yang diperlukan.

Kasus permasalahan gigi tiruan lepasan yang dibuat oleh tukang gigi disampaikan oleh Drg. Bimo Rintoko Sp.Pros. Penderita datang ke klinik gigi dengan keluhan gigi tiruan penuh rahang bawah yang dibuat oleh tukang gigi terasa tidak enak dan suka goyang ke kanan dan ke kiri, sehingga tidak nyaman untuk mengunyah makanan. Gigi tiruan tersebut dibuat oleh tukang gigi kira-kira 1 tahun yang lalu. Pada rahang atas, ditemukan gigi penyangga keropos karena digunakan sebagai retensi gigi tiruan. Pada rahang bawah, bagian belakang kanan dan kiri terjadi resorpsi (pengecilan) tulang rahang karena bentuk gigi tiruan tidak sesuai dengan bentuk anatomi. Selanjutnya diikemukakan, pada kasus tersebut protesis (gigi tiruan) tidak sesuai dengan kaidah ilmu prostodonsia (ilmu pembuatan gigi tiruan). Disimpulkannya, pembuatan prostesis atau gigi tiruan harus memahami: struktur anatomi rongga mulut, bentuk prostesis yang sesuai dengan rongga mulut, metode pencetakan yang sesuai, pemilihan bahan cetak yang sesuai, dan memahami sifat bahan-bahan yang akan digunakan ke pasien. Perawatan kedokteran gigi harus dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, yaitu dokter gigi yang telah melalui tahapan pendidikan formal yang terstruktur dan lulus uji kompetensi dokter gigi, teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia, dan untuk berpraktik harus mempunyai STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Ijin Praktik). Tukang gigi tidak melalui tahapan pendidikan formal yang terstruktur, sedangkan pekerjaan yang dilakukan tukang gigi dilakukan ke struktur rongga mulut manusia.

Drg. Andreas Adyatmaka sebagai praktisi dokter gigi mempresentasikan pekerjaan menyimpang yang dilakukan oleh tukang gigi. Pada kasus yang ditanganinya, pasien datang dalam keadaan sakit luar biasa. Pasien mengatakan sakit semua tapi tidak tahu di mana sakitnya. Kemudian setelah diperiksa, ternyata ada gigi  tiruan cekat yang dipasang dengan bahan self-curing acrylic dan bocor. Pemasangan gigi tiruan cekat sebenarnya hanya boleh dilakukan oleh dokter gigi. Kemudian dari foto rontgen,  gigi-gigi itu disambung dengan kawat, kemudian di atas kawat itu ditaruh akrilik, di atas akrilik diberikan gigi. Setelah diamati, ternyata terjadi kebocoran yang menyebabkan pulpitis yaitu radang pada saraf gigi yang sangat sakit. Terjadi resorpsi akar gigi yang harusnya dua kemudian tinggal satu. Setelah dibongkar, banyak karang gigi, kotoran gigi, dan bau busuk. Dari keterangan pasien, sebetulnya waktu dipasang langsung bagus, langsung enak. Bahkan kemudian minta istrinya juga dipasang gigi tiruan. Tapi setelah dua tahun, mulai terasa gangguan sakit luar biasa, termasuk pada istrinya juga. Disimpulkan, pembuatan gigi tiruan cekat yang tidak sesuai kaidah ilmu kedokteran gigi  seperti bom waktu yang akan sakit pada suatu saat. Pemasangan awal yang dinilai bagus dan enak, akan menjadi derita di kemudian hari, dan perlu perlindungan untuk pasien agar tidak dilakukan oleh sembarang orang. Ditegaskan oleh drg. Andreas, Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 merupakan ketentuan yang melarang kegiatan di bidang kesehatan yang tidak dilakukan secara benar. Kemudian kegiatan di bidang kesehatan yang tidak dilakukan secara benar, merupakan pelanggaran terhadap hak hidup sejahtera dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Maksudnya mendapatkan pelayanan kesehatan, tapi ternyata yang didapat adalah kesengsaraan.

Suroto AMTG S.Pd yang ketua Peratuan Teknisi Gigi Indonesia (PTGI) pada awal paparannya mengemukakan tentang sistem dan proses pendidikan teknisi gigi. Kemudian dikemukakannya, lulusan D3 Teknisi Gigi dapat dibedakan secara tegas dan jelas dengan mereka yang mengaku ahli gigi yang sebenarnya adalah tukang gigi. Dari perspektif ilmu, para tukang gigi sama sekali tidak memiliki dasar pengetahuan teknik gigi berdasarkan kurikulum pendidikan D3 Teknisi Gigi yang berlaku. Persoalan kesehatan sangat terkait dengan tanggung jawab yang menyangkut jiwa seorang, sehingga sulit persoalan ini diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki landasan ilmu pengetahuan. Ditandaskannya, kegagalan dalam menangani permasalahan gigi mempunyai dampak fisik maupun kejiwaan. Oleh karena itu, sebagai pihak yang selama ini berada dalam lingkungan kesehatan sangat berkepentingan untuk menjaga martabat profesi ini.

SAKSI AHLI DARI PIHAK TUKANG GIGI

Prof  Dr Siti Chamamah Soeratno, pakar bahasa Indonesia dari Universitas Gajah Mada, menyampaikan bahwa salah satu ciri bahasa hukum adalah jelas yang berarti dapat dipahami sesuai dengan pesan yang dimaksudkan. Menurutnya, pasal 73 ayat 2 dan pasal 78 UU Praktik kedokteran mengandung kata-kata yang tidak jelas maknanya. Ketidakjelasan dapat menimbulkan interpretasi ganda, yaitu pada kata kesan. Dikemukakannya, kesan ini lahir dari penerimaan seseorang terhadap fenomena yang dihadapi. Penerimaan ini cenderung bersifat subjektif, sehingga tidak akan menghasilkan informasi yang netral, yang terukur, yang tidak bertafsir ganda. Selanjutnya kata seolah-olah adalah kata-kata yang tidak memberi kepastian, yang rentan munculnya perbedaan pemahaman antara seorang pembaca dengan pembaca yang lain. Kata seolah-olah itu tidak bisa menimbulkan sesuatu yang pasti. Dipertegas lagi kekaburan maknanya dengan kata bagi masyarakat, artinya individu yang banyak. Dipaparkannya, dari segi tataran bahasa, Undang-Undang Praktik Kedokteran kurang mempertimbangkan tatanan kebahasaan, kaidah bahasa, ragam resmi, ragam baku yang semuanya itu harus jelas.

Dr Muhammad Arief Setiawan SH, pakar hukum  dari UII Jogyakarta, mengemukakan bahwa, perkembangan perundang-undangan di luar hukum pidana seperti perdata, tata negara, dan administrasi negara seringkali mencantumkan ancaman norma sanksi pidana untuk memperkuat berlakunya perundang-undangan tersebut. Undang-Undang Praktik Kedokteran dilihat dari substansinya, sebenarnya undang-undang ini bisa dimasukkan dalam kategori pengaturan bidang hukum adminsitratif yang mengatur mengenai penyelenggaraan, praktik pelayanan kesehatan atau kedokteran yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan, terutama dokter dan dokter gigi. Jadi, ini jelas tidak termasuk pengaturan norma hukum pidana yang murni. Meskipun kemudian di bagian akhir dari pengaturan itu muncul norma ancaman sanksi hukuman pidana.

Menurutnya, dari sisi ilmu hukum pidana, prinsip-prinsip kriminalisasi yang dihimpunnya dari berbagai pendapat terutama dari Alm. Prof. Sudarto, ada tujuh prinsip yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, dilakukannya kriminalisasi harus mendukung tercapainya tujuan nasional. Kedua, perbuatan yang dikriminalisasi tersebut memang mengakibatkan kerugian atau mendatangkan korban. Ketiga, memperhatikan prinsip biaya dan hasil. Keempat, harus dapat ditegakkan (enforceable). Kelima, memperhatikan prinsip hukum pidana sebagai sarana terakhir atau ultimum remedium. Dan di sini terkandung asas subsidiaritas dimana sebenarnya hukum pidana itu hanya disarankan, dipergunakan apabila norma-norma sosial kemasyarakatan dan/atau norma-norma hukum yang lain di luar hukum pidana, tidak cukup efektif untuk mengatasi persoalan. Sehingga kalau tidak bisa, baru hukum pidana itu dipakai untuk menangani. Keenam, menghindari perumusan yang bersifat samar atau umum. Dan yang ketujuh, perbuatan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana. Mengenai norma hukum pidana pada pasal 78 UU Praktik Kedokteran, dikemukakannya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, sifat hukum pidana sebagai lex scipta, yang menuntut adanya keharusan tertulis. Kemudian lex stricta bahwa penafsiran mengenai hal itu, tidak bisa dilakukan dengan proses analogi, dan lex certa menghindari multitafsir di dalam pembacaan dan perumusannya.

 SELANJUTNYA PENETAPAN KEPUTUSAN

Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli, sidang kemudian diskors dan pada sidang berikutnya akan dibacakan putusan Mahkamah Konstitusi. Diharapkan para hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan dalam persidangan. Dari rangkaian proses persidangan Mahkamah Konstitusi dapat terlihat dengan jelas mengenai permasalahan tukang gigi dan kaitannya dengan pengujian UU Praktik Kedokteran.

Memang merupakan hak konstitusional setiap warganegara atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun hal ini bukan berarti boleh melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain. Terutama dari persidangan terakhir terlihat bahwa, pekerjaan tukang gigi secara sistemik berpotensi dapat menimbulkan kerugian dan membahayakan pasien. Akibat buruk yang terjadi karena pekerjaan tukang gigi bukan hanya kasus yang bersifat kasuistik, melainkan merupakan sesuatu yang sistemik. Hal ini bersifat sistemik, karena para tukang gigi tidak menempuh pendidikan formal, serta tidak terdapatnya standar kompetensi maupun uji kompetensi dalam rangka menjamin perawatan yang baik serta keselamatan pasien (patient safety).

Kalau pun perumusan ketentuan pengaturannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, akan tetapi sama sekali bukan berarti peraturan perundang-undangan yang melindungi pasien harus ditiadakan. Khususnya pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU  Praktik Kedokteran, mengenai kata "kesan seolah-olah" yang diperdebatkan, pengertiannya dapat ditelaah dengan mengacu pada Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008). Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kesan berarti apa yang terasa (terpikir) sesudah melihat (mendengar) sesuatu, sedangkan seolah-olah berarti selaku/seakan-akan.  Dalam hal ini ungkapan "kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi" memiliki pengertian sebagai "sesuatu yang terasa (terpikir) sesudah melihat (mendengar), maka orang tersebut selaku/seakan-akan adalah dokter atau dokter gigi (padahal bukan)". Dengan demikian pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU  Praktik Kedokteran, maknanya dapat dipahami dengan jelas dan tidak dapat ditafsirkan lain.

Pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU  Praktik Kedokteran dapat dikatakan memenuhi prinsip-prinsip teori hukum. Ketentuan pada pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU Praktik Kedokteran merupakan ketentuan yang tertulis secara formal (lex scripta), jelas batasannya (lex stricta), serta jelas penafsirannya (lex certa). Tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh seseorang yang dikesankan seolah-olah dokter/dokter gigi (padahal bukan), jelas dapat menimbulkan kerugian yang serius pada pasien. Pelarangan berikut sanksi mengenai pelayanan kesehatan yang tidak dilakukan secara benar merupakan sesuatu yang perlu dilakukan, mengingat hal tersebut terjadi di masyarakat, meskipun umum diketahui berdasarkan norma yang berlaku sebenarnya tidak boleh dilakukan. Dengan adanya pelarangan dan sanksi tersebut maka dapat dihindari kerugian yang lebih besar pada masyarakat. Penegakkan ketentuan pada  pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU Praktik Kedokteran memang perlu dilakukan untuk menunjang terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

(rmk-p/pj)

Senin, 25 Juni 2012

ALBUM EMAS 50 TAHUN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

 50 TAHUN 
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI 
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
1962 - 2012

Disusun oleh :
Bimo Rintoko, SKG., drg., Sp.Pros.




COVER ALBUM EMAS 50 TAHUN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)




FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)


Leaflet Seminar 50 Tahun
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)