UU Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) disetujui DPR dan Pemerintah untuk ditetapkan sebagai undang-undang pada sidang paripurna DPR 11 juli 2013. Penetapan UU Pendidikan Kedokteran baru disepakati setelah perjalanan panjang pembahasan, bahkan perdebatan sengit, selama kurun waktu lebih dari 2 tahun. Berdasarkan UU tersebut, pendidikan dokter gigi termasuk dalam pendidikan kedokteran yang terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi.
Meski telah terdapat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, namun pendidikan kedokteran dipandang perlu untuk diatur dalam UU tersendiri berdasarkan kekhasan pendidikan kedokteran. Pada bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dinyatakan bahwa, berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran.
Kekhasan pendidikan kedokteran terbangun dari sejarah pendidikan kedokteran maupun pelaksanaan profesinya yang selama ini telah berjalan baik secara universal maupun yang berlangsung di Indonesia. Hal yang khusus pada pendidikan kedokteran antara lain pelaksanaannya yang mencakup interaksi antara 3 unsur utama yaitu institusi pendidikan, rumah sakit pendidikan, dan profesi/kolegium. Demikian pula struktur profesinya terdiri atas dokter/dokter gigi dan dokter/dokter gigi spesialis - sub spesialis, yang tercermin pula pada struktur pendidikannya. Selain itu terdapat spesifitas profesi kedokteran sebagai tenaga strategis.
Hal-hal yang diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran yang terdiri atas 8 bab yang berisi 64 pasal disertai penjelasannya meliputi:
- Ketentuan umum yang berisi pengertian, azas dan tujuan pendidikan kedokteran
- Penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang mencakup pembentukan, penyelenggara pendidikan kedokteran, penyelenggara pendidikan kedokteran di rumah sakit, rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, pendidikan akademis dan profesi, sumber daya manusia, standar nasional pendidikan kedokteran, kurikulum, mahasiswa, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, uji kompetensi, kerja sama FK/FKG dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, penelitian, dan penjaminan mutu.
- Pendanaan dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran yang mencakup pendanaan pendidikan kesehatan, dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran.
- Pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup dukungan pemerintah, dan dukungan pemerintah daerah.
- Peran serta masyarakat.
- Sanksi administratif.
- Ketentuan Peralihan.
EKSISTENSI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
Pendidikan dokter gigi pada UU Pendidikan Kedokteran merupakan bagian dari Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, pendidikan kedokteran terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi. Pada naskah awal RUU Pendidikan Kedokteran yang merupakan usulan inisiatif DPR, keberadaan pendidikan kedokteran gigi tidak terlalu jelas, bahkan terdapat kesan cenderung mengalami subordinasi.
Namun berkat masukan dari PDGI, AFDOKGI (Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia) maupun dari ARSGMPI (Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia), akhirnya pada pembahasan selanjutnya, pendidikan dokter gigi secara jelas dinyatakan eksistensinya. Berdasarkan UU tersebut, Pendidikan Kedokteran terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi, kemudian sebagai pengelolanya secara jelas dicantumkan dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk pendidikan dokter dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk pendidikan dokter gigi1).
Kemudian berdasarkan kesepakatan mengenai pemahaman dasar tersebut, lalu dilakukan pembahasan dan perumusan yang menyangkut keberadaan pendidikan dokter gigi pada naskah rancangan UU Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa, pada awalnya untuk menanamkan pemahaman tersebut bukan pekerjaan yang mudah, banyak yang masih belum mengerti tentang keberadaan pendidikan dokter gigi. Dalam rangka memasukkan substansi pendidikan dokter gigi, PDGI menyampaikan pokok-pokok pemikiran pada dengar pendapat di hadapan sidang DPR, lengkap dengan uraian usulan rinci perubahan pasal per pasal. Usulan mengenai substansi pendidikan dokter gigi kemudian diakomodasi oleh Panitia Kerja DPR pada pembahasan naskah Rancangan UU Pendidikan Kedokteran.
PENYELENGGARA PENDIDIKAN KEDOKTERAN
Perguruan tinggi yang akan membuka program studi kedokteran dan/atau program studi kedokteran gigi wajib membentuk Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi2). Fakultas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hanya dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berbentuk universitas atau institut3). Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi yang memenuhi syarat dapat menambah program studi lain di bidang kesehatan4).
Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi5).
PENDIDIKAN AKADEMIK DAN PROFESI
Pendidikan Kedokteran terdiri atas Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi6). Pendidikan Akademik terdiri atas program Sarjana Kedokteran dan program Sarjana Kedokteran Gigi, program magister, dan program doktor7). Pendidikan Profesi terdiri atas program profesi dokter dan profesi dokter gigi, program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis7) (dalam hal ini program dokter layanan primer hanya untuk dokter). Program profesi dokter dan profesi dokter gigi merupakan program lanjutan yang tidak terpisahkan dari program sarjana9).
Program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi10). Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis11). Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis berkoordinasi dengan Organisasi Profesi12).
KUOTA MAHASISWA
Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional13). Ketentuan mengenai kuota nasional diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan14).
RUMAH SAKIT DAN WAHANA PENDIDIKAN
Pendidikan Profesi di rumah sakit dilaksanakan setelah rumah sakit ditetapkan menjadi Rumah Sakit Pendidikan15). Rumah Sakit Pendidikan terdiri atas Rumah Sakit Pendidikan Utama, Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi, dan Rumah Sakit Pendidikan Satelit16). Wahana Pendidikan Kedokteran terdiri atas pusat kesehatan masyarakat, laboratorium, dan fasilitas lain17).
DOSEN
Dosen dapat berasal dari perguruan tinggi, Rumah Sakit Pendidikan, dan Wahana Pendidikan Kedokteran18). Dosen di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pelayanan kesehatan19). Dosen di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran memiliki kesetaraan, pengakuan, dan angka kredit yang memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan20).
STANDAR PENDIDIKAN DAN KURIKULUM
Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan Organisasi Profesi21). Standar Nasional Pendidikan Kedokteran ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan22). Standar Nasional Pendidikan Kedokteran mengatur standar untuk Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi23). Kurikulum dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Kedokteran24).
PENERIMAAN MAHASISWA
Calon mahasiswa harus lulus seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan25). Selain lulus seleksi penerimaan calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian26). Seleksi penerimaan calon mahasiswa menjamin adanya kesempatan bagi calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender, dan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah27).
Seleksi penerimaan calon mahasiswa dapat dilakukan melalui jalur khusus28). Seleksi perimaan calon mahasiswa melalui jalur khusus ditujukan untuk menjamin pemerataan penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia28).
Dokter dapat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi dapat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi spesialis-subspesialis29). Dokter yang akan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi yang akan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi spesialis-subspesialis harus memenuhi persyaratan memiliki surat tanda registrasi, dan mempunyai pengalaman klinis di fasilitas pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil, terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan30).
UJI KOMPETENSI
Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi31). Mahasiswa yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi32). Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi33). Mahasiswa yang telah lulus program profesi dokter atau profesi dokter gigi wajib mengangkat sumpah sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya34).
Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional dalam rangka memberi pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis35). Uji kompetensi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi36).
KERJASAMA DENGAN RUMAH SAKIT DAN WAHANA PENDIDIKAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi hanya dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Rumah Sakit Pendidikan Utama37). Dalam hal menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialissubspesialis, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat bekerja sama paling banyak dengan 2 (dua) Rumah Sakit Pendidikan Utama38). Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit39).
Rumah Sakit Pendidikan dan/atau rumah sakit gigi dan mulut yang dimiliki Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Utama Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan40). Rumah Sakit Pendidikan Utama hanya dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagai rumah sakit pendidikan utamanya41). Rumah Sakit Pendidikan Utama dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit bagi Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi lainnya42).
PENELITIAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi wajib melaksanakan penelitian ilmu biomedis, ilmu kedokteran gigi dasar, ilmu kedokteran klinis, ilmu kedokteran gigi klinis, ilmu bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta ilmu kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan/atau ilmu kedokteran gigi43). Penelitian kedokteran dan kedokteran gigi yang menggunakan manusia dan hewan percobaan sebagai subjek penelitian harus memenuhi lolos kaji etik44).
STANDAR SATUAN BIAYA
Menteri yang menangani urusan pemerintah bidang pendidikan menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Kedokteran yang diberlakukan untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran secara periodik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan45). Penetapan biaya Pendidikan Kedokteran yang ditanggung Mahasiswa untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran harus dilakukan dengan persetujuan Menteri46).
MASA PERALIHAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan47). Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan48). Rumah Sakit Pendidikan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini, paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan49).
INTERNSIP DAN PENEMPATAN SEMENTARA
Program internsip menjadi permasalahan yang banyak diperdebatkan, bahkan sampai pada sidang paripurna DPR penetapan UU pendidikan kedokteran. Pada bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dikemukakan, program internsip merupakan program pemahiran dan pemandirian dokter. Program internsip merupakan bagian dari program penempatan wajib sementara yang bertujuan untuk menjamin pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia.
Program profesi dokter dan profesi dokter gigi dilanjutkan dengan program internsip50). Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti program internsip51). Penempatan wajib sementara pada program internsip diperhitungkan sebagai masa kerja52). Program internsip diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia53). Ketentuan lebih lanjut mengenai program internsip diatur dalam Peraturan Pemerintah54).
Dari kalangan profesi kedokteran gigi, pada awalnya berpandangan bahwa, pemahiran dan pemandirian pada internsip telah berlangsung pada kepaniteraan klinik. Namun dengan perkembangan yang berlangsung kemudian, agaknya perlu dilakukan penelaahan dan persiapan untuk memberikan masukan-masukan agar Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan internsip yang akan dibuat dapat sesuai dengan pendidikan kedokteran gigi yang dijalankan.
TINDAK LANJUT
Interupsi dan perdebatan masih berlangsung hingga saat terakhir ketika sidang paripurna DPR pengesahan UU Pendidikan Kedokteran. Permasalahan yang mengemuka terutama mengenai program internsip, dan rumah sakit pendidikan. Sampai-sampai sidang diskors untuk memberi kesempatan lobi antara anggota DPR dengan pemerintah yang diwakili Mendikbud, M Nuh. Setelah dibahas, diputuskan hal yang dipermasalahkan akan diatur dalam peraturan pelaksanaan yang akan dibuat oleh pemerintah.
UU Pendidikan Kedokteran yang telah diundang-undangkan membutuhkan cukup banyak peraturan pelaksanaan agar dapat sepenuhnya dijalankan. Bagi pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran dibutuhkan 5 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), dan 14 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Diharapkan peraturan pelaksanaan tersebut dapat segera ditetapkan agar UU Pendidikan Kedokteran dapat dilaksanakan sepenuhnya. Cukup banyak ketentuan pada UU Pendidikan Kedokteran yang tidak dapat dijalankan tanpa adanya peraturan pelaksanaannya.
Diharapkan dengan ditetapkannya UU Pendidikan Kedokteran dapat mengatasi permasalahan seperti akses bagi warga miskin dan putra daerah, kesetaraan gender, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan kedokteran, dan dualisme dosen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Kesehatan. Selanjutnya Pemerintah diharapkan dapat menyediakan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan kedokteran, serta mampu mengatasi permasalahan ketersediaan dan penyebaran dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
(paulus januar)
Catatan:
- 1) Pasal 1 butir 1,4,5 UU Pendidikan kedokteran
- 2) Pasal 6 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 3) Pasal 6 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 4) Pasal 6 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 5) Pasal 5 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 6) Pasal 7 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 7) Pasal 7 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 8) Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran
- 9) Pasal 7 ayat (6) UU Pendidikan Kedokteran
- 10) Pasal 8 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 11) Pasal 8 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 12) Pasal 8 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 13) Pasal 9 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 14) Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 15) Pasal 13 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 16) Pasal 15 UU Pendidikan Kedokteran
- 17) Pasal 16 UU Pendidikan Kedokteran
- 18) Pasal 21 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 19) Pasal 21 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 20) Pasal 21 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 21) Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 22) Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 23) Pasal 24 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 24) Pasal 25 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 25) Pasal 27 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 26) Pasal 27 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 27) Pasal 27 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 28) Pasal 27 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 29) Pasal 28 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 30) Pasal 28 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 31) Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 32) Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 33) Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 34) Pasal 37 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 35) Pasal 39 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 36) Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 37) Pasal 40 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 38) Pasal 40 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 39) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 40) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 41) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 42) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 43) Pasal 46 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 44) Pasal 46 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 45) Pasal 52 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 46) Pasal 52 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 47) Pasal 59 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 48) Pasal 59 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 49) Pasal 60 UU Pendidikan Kedokteran
- 50) Pasal 7 ayat (7) UU Pendidikan Kedokteran
- 51) Pasal 38 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 52) Pasal 38 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 53) Pasal 7 ayat (8) UU Pendidikan Kedokteran
- 54) Pasal 7 ayat (9) UU Pendidikan Kedokteran
Note : Naskah RUU Pendidikan Kedokteran yang disahkan pada 11 Juli 2013 dapat diunduh di : http://www.pdgi.or.id/downloads
Tidak ada komentar:
Posting Komentar